BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 31 Mei 2011

Kabayan, Iteng dan Blackberry

Keinginan Iteng untuk pergi ke kota akhirnya kesampaian juga, setelah Kabayan mengabulkan permintaan itu. Tak hanya Kabayan, Abah juga turut mengabulkannya, karena sejak menikah dengan, Iteng belum pernah ke kota, pernah cuma waktu kecil. Namun apa yang terjadi di kota, inilah inti cerita dari Cerita Komedi Kabayan Mencari Iteng. Cerita dimainkan oleh seorang pemeran utama pria, seorang pemeran utama wanita, seorang pemeran pembantu pria, seorang pemeran pembantu wanita dan pemeran lainnya. Berikut ringkasan ceritanya.

Sesosok tubuh terbungkus sarung mendengkur di atas bale bambu. Suara ngorok jelas terdengar dari mulutnya yang kadang terbuka kadang tertutup. Tubuh itu terbangun saat ada cairan yang keluar dari mulutnya. Dengan reflek jarinya mengusap cairan itu, lalu kembali mendengkur. Tiba-tiba dari kejauhan, terdengar panggilan seorang pria tua. Panggilan itu tak sedikitpun menggangunya. Baru setelah panggilan agak keras tubuh itu terbangun dan duduk. Ya memang orang itu adalah Kabayan.
Kabayan memang paling takut dengan suara itu. Itulah suara Abah, mertuanya. Namun setelah melihat ke arah suara itu Abah tidak nampak. Rasanya ngantuknya kembali menyerang. Dia berniat membaringkan lagi tubuhnya, tapi dia ingat dengan sesuatu. Dengan reflek, tangannya mengambil sesuatu. Rupanya bulu ayam sangat akrab dengannya. Seperti biasanya, benda itu dimasukan ke dalam lubang telinganya. Itulah surga dunia bagi Pria yang terkenal malas itu. Matapun terlihat merem melek.
Sambil menikmati surga dunia, dia menatap meja kecil. Kekecewaan muncul, rebus singkong dan secangkir kopi tidak nampak di sana. Surga duniapun berakhir. Dengan sedikit emosi, dia memanggil Iteng, istrinya dengan suara agak pelan. Namun yang Iteng tidak menyahut. Berkali-kali panggilan tersebut diulangi, namun tetap tak menyahut, apalagi muncul di hadapannya. Kabayan semakin kecewa dan akhirnya dia bangkit dari bale itu. Dengan agak sempoyongan, dia mencari Iteng ke dalam rumah.
Sementara itu, Iteng bukan tak mendengar panggilan itu. Langkah Kabayan yang mendekatinya juga tahu. Namun dia tetap duduk di kursi dengan muka ditelungkupkan pada meja. Bahkan saat suaminya menyapa dan memegang pundaknya dapat merasakan serta mendengar sapaan itu. Melihat istri yang dicintainya tidak memperdulikannya, Kabayan kaget dan bingung. Tak biasanya itu terjadi. Semakin bingung lagi saat berkali-kali menyapa tak dijawab. Iteng tak beranjak dari tempatnya, apalagi menoleh.
Dengan sangat halus, Kabayan menanyakan hal sebenarnya. Rupanya Iteng marah karena punya keinginan yang belum kesampaian, yaitu ingin pergi ke kota. Dia ingin melihat keramaian kota, ingin membuktikan sendiri, bukan hanya kata orang-orang saja. Dia ingin melihat mobil mewah, kereta, pesawat terbang dan keanehan lainnya. Dan yang paling diharapkan, dia ingin dibelikan sebuah handphone Blackberry. Kabayan kaget bukan main, ternyata Iteng sudah tahu juga dengan handhone mahal itu.
Kabayan tak bisa memutuskan sendiri. Keadaan kota kini berbeda dengan dulu saat Kabayan masih bujangan. Di kota sekarang banyak kejahatan. Apalagi sering terdengar ada ledakan bom. Siapa yang tidak khawatir. Untunglah pada saat itu muncul Abah dan Ambu. Kabayanpun menyampaikan keinginan itu. Abah tertawa terbahak-bahak. Ambu juga. Namun Ambu tidak tahu kenapa Abah tertawa. Rupanya wanita tua itu hanya ikut-ikutan ulah Abah saja. Hal itu membuat Abah geram.
Melihat ulah Anah, Kabayan heran bukan main. Namun setelah mengetahui alasan Abah, baru dia mengerti. Kalau Si Iteng ke kota mah, Abah mengijinkan saja. Soal keamanan kota, tidak perlu khawatir, di kota ada polisi. Lagipula Abah juga sedih, karena hingga sekarang, Abah belum membawa anaknya ke kota. Handphone Blackberry yang konon harganya mahal bukan masalah, karena uang yang dimiliknya buat siapa lagi kalau bukan buat anak satu-satunya. Ledakan bom juga bukan masalah, karena semua teroris sudah ditangkap.
Dengan berbekal uang pemberian Abah, keduanya sampai juga di kota. Kini Iteng tidak penasaran lagi, karena dia dapat membuktikan kata orang-orang itu. Dia bisa melihat mobil yang berjubel-jubel. Bukan mobil butut seperti di kampungnya, tapi mobil-mobil mewah. Namun dia heran saat melihat mobil yang sangat panjang. Setelah diberi tahu Kabayan, baru dia mengerti kalau itu bukan mobil, tapi kereta. Begitu juga saat melihat ada yang terbang kaya burung. Itu pesawat terbang, kata Kabayan.
Iteng puas. Keinginannya telah terkabul. Satu yang belum, beli handphone Blackberry. Namun dia heran saat melihat-lihat di konter. Model-model handphone banyak sekali. Apalagi saat melihat ke konter lain. Secara tidak sadar, Iteng melihat-lihat handphone ke konter lain, meninggalkan Kabayan yang sedang menawar Blackbery. Tak disadari pula Iteng sudah melangkah jauh dan terpisah dengan suaminya. Bahkan akhirnya dia melihat-lihat pakaian yang sangat bagus-bagus, berbeda dengan yang dipakainya.
Kabayan terkejut bukan main. Iteng tidak ada di sampingnya. Hampir saja Blackberry yang sudah jadi tidak dibayarnya. Keluar dari konter, Kabayan memanggil-manggil istrinya, namun Iteng tak menyahutnya. Demikian saat mencari-cari di sekitar tempat itu. Akhirnya dia berusaha mencari ke tempat lain. Dengan gayanya yang lugu dan kocak, dia berusaha menanyakan kepada orang yang ditemuinya, siswa, pegawai, mahasiswa, preman, tukang parkir dan tentu saja polisi. Namun tentu saja tidak yang tahu.
Tak hanya Kabayan, Iteng juga terkejut. Pria yang sejak tadi mengikutinya, ternyata bukan suaminya. Lebih terkejut lagi, pria tak dikenal itu merebut bungkusan dari tangannya. Nasi timbel, ikan asin dan semur jengkol turut raib, termasuk juga uangnya. Iteng bisa berbuat apa-apa. Hanya orang gila yang berjingkrak kegirangan. Seorang pria lain yang berusaha menolongnya tak kunjung nongol, padahal dia sudah menunggu lama. Akhirnya Iteng berjalan tanpa arah sambil memanggil-mangil nama suaminya.
Mencari Iteng di kota bukan perkara mudah, hingga akhirnya Kabayan menyerah. Di bawah sinar lampu, dia duduk di kursi taman kota. Bulu ayam yang selalu akrab dilupakannya. Tanpa itu juga, rasa kantuknya menyerang dan secara tidak sadar, dia tertidur di bangku itu. Kabayan baru terbangun saat mendengar panggilan namanya berkali-kali. Rupanya panggilan itu tidak jauh darinya, bahkan tergolek di bawah bangkunya. Tak salah lagi, itulah Iteng. Rindupun tak tertahankan. Biarlah Iteng, kita tidur di sini aja, kaya gelandangan. Yang kita tetap bersama.
Lebih terkejut lagi Abah dan Ambu, karena hingga sore Kabayan dan Iteng belum kembali, bahkan hingga malam. Kabayan benar, pikir Abah, kalau di kota itu banyak kejahatan. Banyak copet, penipu, pencuri dan perampok serta koruptor. Atau jangan-jangan kedua orang yang disayangi itu terkena ledakan bom. Ngeri sekali Abah hingga tak sedikitpun bisa memejamkan mata. Apalagi dalam kegelisahan itu, Ambu ngomel terus, kenapa Abah mengijinkan Iteng pergi ke kota. Untunglah keduanya masih punya calain, yaitu berdoa.
Doa memang sejata ampuh bagi siapa saja, termasuk Abah dan Ambu. Karena dari kejauhan terdengar seseorang yang memanggil keduanya. Ambu kenal betul dengan suara itu. Tanpa pikir panjang, wanita tua itu bangkit dari kursi dan memburunya. Benar saja dugaannya. Dari balik pepohonan muncul Iteng. Ambu senang bukan main, demikian juga dengan Abah. Keduanya segera memeluk Iteng. Sedangkan Kabayan yang berlalu di dekat mereka tidak diperdulikannya. Bahkan Abah melirik, seraya berkata “ Dasar borokokok ! 

Senin, 09 Mei 2011

Hantu yang Nanya Jalan Ke Rumahnya

Kang Atang memang suami yang bertanggung jawab, termasuk dalam mencari napkah. Berangkat subuh pulang malam bukan masalah baginya. Semua itu dilakukannya karena tempat kerjanya di Jakarta, sedangkan dia tinggal di Bogor. Masuk kantor pukul delapan pagi, keluar pukul lima sore. Karena kerja kerasnya, maka keadaan ekonominya boleh dibilang cukup. Cukup untuk biaya hidup sehari, cukup untuk membiayai sekolah anaknya. Bahkan lebih.

Pada suatu malam, dia tiba pulang terlambat, pukul sebelas malam baru tiba di rumah. Jalanan macet, katanya. Ada demontrasi mahasiswa di Jakarta, yang menentang kenaikan harga BBM. Meski terlambat, Teh Hindun, istrinya tetap menyambut dengan baik, dengan menyediakan air hangat untuk mandi, makan malam dan segelas air kopi panas. Sambil merokok dia ngobrol ruang tengah. Sebuah khabar diterima bahwa Haji Usin meninggal dunia, tadi sore.
Khabar itu sangat mengagetkannya. Pasalnya, kakek tua yang tinggal di kampung sebelah dan memiliki tanah cukup luas itu, termasuk di samping rumahnya itu pernah bertengkar dengannya, gara-gara batas tanah yang berubah. Keduanya sama-sama tak mau mengalah dan kukuh pada pendirian masing-masing. Hingga saat itu, urusannya masih belum tuntas. Bahakn beberapa waktu lalu hampir ditamparnya.
Selain urusan tanah yang belum tuntas, dia juga terkejut karena harus berangkat kerja sebelum subuh, ada pekerjaan yang harus dibereskan sebelum pukul delapan. Padahal orang yang sudah menikah dua kali ini paling takut dengan orang baru meninggal. Hampir semalaman tidak bisa tidur, memikirkan hal itu. Minta diantar tak tahu harus kesiapa. Orang-orang sudah tidur. Lagipula alangkah malunya bila didengar orang lain. Orang setua dirinya masih taku dengan hantu.
Dengan sangat terpaksa, Kang Atang harus melakukan aktifitas rutinnya, berangkat dari rumah sebelum subuh. Sejak keluar rumah, perasaannya tidak enak, takut hantu Haji Usin. Ketakutan itu betul-betul terjadi. Di balik pohon duku yang besar, sesosok tubuh berdiri dengan pakaian serba putih. Dia sangat terkejut. Pasalnya sesosok tubuh itu memang Haji Usin. Lebih terkejut lagi saat Haji Usin memanggil-manggil namanya. Hantu, pikirnya.
Tanpa pikir lagi, Kang Atang mempercepat langkahnya, bahkan boleh dibilang setelah berlari. Untungnya masih ingat dengah arah langkahnya. Sambil sekali-kali melirik ke belakang, dia tetap dengan langkahnya. Sebuah batu menghalanginya, membuat kakinya tersandung dan jatuh tertelungkup. Karena hantu itu nampak mengikutinya, diapun langsung bangun lagi dan melanjutkan langkahnya menjauhi hantu hingga tak nampak lagi.
Kini Kang Atang tenang. Hantu itu sudah hilang, bahkan tidak mengikutinya. Dia berseder pada dinding sebuah warung, menunggu mobil angkutan lewat. Namun kembali dia terkejut, karena tiba-tiba saja hantu itu sudah berdiri di hadapannya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Dengan histeris, dia menjerit, lalu berteriak, hantu. Saking takutnya, dia tidak bisa melangkah, kaki seperti tertanjap ke bumi.
Saat kakinya tak bisa melangkah, kembali Kang Atang berteriak, hantu !!! Tapi anehnya, hantu itu malah juga berteriak, seperti meniru teriakannya, hantu !!! Bahkan kini hantu mendekatinya sambil tangannya mengulur hampir menyentuh tubuhnya. Kembali Kang Atang berteriak, hantu !!! Tapi anehnya pula, malah hantu itu mengikuti teriakannya, hantu !!! Mungkin hantu itu mengira memang ada hatu beneran di belakannya.
Untung saja tak lama kemudian kakinya bisa melangkah. Tanpa pikir lagi dia lari terbirit-birit dan dalam waktu yang bersamaan mobil angkutan berhenti. Langsung pula, dia naik mobil. Dalam mobil, pandangan masih tertuju ke arah hantu. Saat itu pula sesosok tubuh lain yang juga serba putih muncul dari mulut gang. Tubuh serba putih itu menghampiri hantu tadi. Untung-ungtung aku sudah naik mobil, kalau tidak mungkin aku sudah mati berdiri.
Kang Atang pulang lebih cepat. Dia sangat senang. Karena selain disambut Teh Hindun juga Enjat, lelaki seumurnya. Nanti kalau berangkat kerja akan meminta untuk mengantarku, begitu bisik hatinya. Biarlah malu juga, toh dia itu teman dekatku. Sepertinya bisikan itu disambut dengan baik. Buktinya Enjat senyum-senyum sendiri sambil menatapnya. Selain Enjat, ternyata Teh Hindun juga turut tersenyum, seolah mengejeknya.
Karena penasaran, Kang Atang bertanya kepada Enjat, kenapa dari tadi kamu senyum-senyum. Aku teringat peristiwa tadi subuh, waktu ente berangkat kerja, jawab Enjat. Kang Atang langsung teringat dengan peristiwa itu. Jika ingat, badanya terasa gemetar. Kang Atang tersenyum malu dan bertanya lagi, emang ente tahu. Tahu, jawab Enjat. Waktu mau shalat subuh, saya melihat Haji Usin. Karena kasihan sama dia, aku mengikuti langkahnya hingga mulut gang.
Baru saja tiba di mulut gang, aku mendengar teriakan, hantu !! Waktu saya lihat, ternyata ente. Karena lucu, maka saya bersembungi di balik tembok. Lucunya lagi, Haji Usin juga berteriak hantu. Siapa yang enggak takut sama hantu, kata Kang Atang. Ya, hantu yang ingin nanya jalan ke rumahnya, kata Enjat. Emangnya Haji Usin masih hidup, tanya Kang Atang. Masih, jawab Enjat. Nyawanya masih betah, tapi dia tetap pikun. Kang Atang tersenum mali, namun Enjat dan Teh Hindun tertawa terbahak-bahak. Akhirnya Kang Atang juga turut tertawa.